Tema : Kehidupan Religi dalam Berbudaya
Harga Wanita
Senja itu angin semilir semakin kencang. Situasi masjid lengang tidak seperti biasa. Hatiku kokoh untuk tetap berangkat berjamaah bersama santri-santri lain yang tetap berangkat untuk menunaikan sholat maghrib. Ya Alloh ya Tuhan.. Tuntunkanlah hamba disetiap jalan yang Engkau ridhoi. Usai sholat selalu ku panjatkan do’a sebelum zikirku kepada Rosululloh. Kenapa Kau anugrahkan rasa yang luar biasa kepada hamba ya Alloh, kenapa Kau beri rasa kepadaku untuk mencintai yang bukan milikku ya Alloh. Yang belum menjadi milikku dan haram bagiku. Tapi rasa itu begitu indah. Begitu menyejukan dan membuat damai isi hati ini, dikala ku melihatnya melihat senyumnya.
Mukena ku bereskan dan bergegas menuju kamar, terlintas terdengar alunan suara dia mengaji, hatiku bergetar hebat, nafas ini sesak dan tubuh ini seakan melayang hebat. Dengan selesainya wisuda bulan kemarin, rasa penasaranku pada lelaki itu semakin dalam. Ya Alloh .. Andai nanti jodohku. Betapa bahagianya hidupku nanti. Betapa sempurnanya hidupku dengannya. Subhanalloh . apa yang hamba fikirkan. Tapi ini hanya mimpi, dia lelaki sholeh, tak mungkin mau denganku.
Esok harinya, aku biasa berangkat bekerja dengan motor bututku, maklum hanya sebagai guru honorer yang tak cukup untuk bermewah. Hari ku lalui seperti hari biasanya. Tapi ini ada yang tak biasa, ban motorku bocor. Diperjalanan ku terus menuntunnya menelusuri jalan yang panas, tambal ban yang biasa buka sekarang tutup. Ada mobil Aerio Merah melintas cepat. Betapa kesalnya batinku melihat rianya orang yang memakai mobil. Tanpa sadar sambilku melamun. Mobil merah tadi berjalan pelan disampingku. Dan berhenti. Kemudian lelaki itu turun, membantuku membawakan motorku sampai kebengkel. Betapa lembut hatinya, selembut salju, ternyata dugaanku meleset. Ternyata kaulah lelaki pujaanku selama ini, hatimu selembut salju, kau mas Rif’at.
Setiap agendaku, selalu ku isi dengan kebaikan-kebaikan dan segalanya tentang Rif’at. Tak tahu asalnya bu Nyai memanggilku ke ndalem nya. Hatiku berdandan ala kadarnya. Ternyata diruang tamu bu Nyai sudah ba hanyak tamu. Tentu Pak Kyai, Bapak yang setengah baya dengan busana sopan dan ibu yang halus tutur katanya. Langsung kepokok, pak kyai langsung memulai pembicaraan, aku yang tidak tau ini acara apa dan untuk apa. Aku dikasih pertanyaan dari pak kyai.
Laila..umur kau sudah mencukupi, tak terbesitkah dalam benakmu untuk berumah tangga, dan Bapak mendapat tamu dari solo?
Mereka akan meminangmu, Laila.. kau sudah ku anggap seperti anak sendiri, dan saya tau yang apa yang kau butuhkan dari pertama kau masuk Tsanawiyah di Pesantren bapak ini. Masalah ini tidak perlu kau jawab sekarang, bisa kau pikirkan matang-matang dulu. Dan mintalah izin orangtua kamu di Palembang.
Kelopak-kelopak bunga mawar berjatuhan dihatiku, betapa indah dunia ini ku rasa. Ya Alloh ini bukan mimpi. Mas Rif’at melamarku. Subhanallah..
Setelah semuanya berkemas. Bergegas pula ku menelpon Ayah Ibu ku dikampung halaman nan jauh disana. Sepontan mereka setuju. Karena memang orang tuaku mengamanatkan diriku kepada Bu De Rumi yaitu Bu Nyai. Tak lama berselangpun aku mengatakan setuju kepada Bu Nyai. Mungkin mereka yang merencanakan ini itunya. Aku hanya diam. Sebelum ku tidur terdengar telepon berdering, dengan hati terpaksa, ku angkat. Alangkah indah suara yang ku dengar itu begitu familier ditelingaku, ternyata Rif’at yang berani pertama kalinya menyatakan seluruh isi hatinya lewat telepon dn merencanakan hari tanggal pernikahan, diam-diam mas Rif’at sudah mengagumiku sejak awal aliah. Karena buku aku yang jelas waktu itu agen da aku yang terbawa. Betapa malunya diriku kepadanya. Tapi tak apalah namanya juga remaja yang penuh perasaan berliku-liku dan ku tulis selalu diagenda. Sejak itu Rif’at begitu jatuh cinta kepada kata-kata yang terangkai di agenda itu. Katanya ku pantas menjadi penulis, karena kata-kataku pantas dipasarkan.
Dihari pernikahan kami. Hampir semua saudaraku dari Palembang datang termasuk Ayah dan Ibuku. Semua tamu undangan berbusana rapi. Acara akad nikahpun berlangsung dengan hikmat. Dan pertama kalinya. Diri ini duduk sangat dekat dengan mas Rif’at. Jantung hatiku terus bergetar mengiri lantunan lagu yang sedang berdendang.
Kebahagiaan yang tak terungkap statusku sudah menikah mempunyai suami dan aku menjadi seorang istri. Subhanallah.. syukurku selalu ku panjatkan pada-Mu ya Rab..
Satu tahun berselang. Rasa kangen kepada keluargaku dikampung halaman tak terbendungkan. Dengan halusku meminta izin kepada suamiku.
Mas Rif’at sayang.. aku kangen sekali ibu.. aku kangen sekali bapak.. setahun yang lalu pas pernikahan kita, mereka hanya sebentar disini, dan tak sempat bersendagurau bersama. Tolong izinkan aku mas.. menengok kampung halamanku..Cuma 2 pekan saja suamiku.. aku akan kembali..
Dengan hati memelas, mas Rif’at dengan tenang mengizinkan aku pulang ke Palembang. Kesibukan mas Rif’at yang padat dan tidak dapat ditinggalkan. Aku berangkat sendiri. Mas Rif’at hanya mengantarku sampai ke agen bus. Suamiku memelukku, mencium keningku dan ku cium tangannya. Dalam hati aku akan cepat kembali.
“Istriku.. hati-hati terus dijalan, jangan lupa selalu berzikir dan selalu ingat kepadaNya,.” Itulah nasihat Mas Rif’at kepadaku.
Bus melaju dengan cepat. Sepuluh jam berselang. Tak paham aku sudah sampai mana. Tiba-tiba dari arah depan ada truk oleng yang cepat menabrak bus yang aku tunggangi. Entah apa yang terjadi semua gelap.
Di suatu rumah sakit didaerah Bandung. Terbaring perempuan cantik dengan luka yang cukup serius. Tetapi dengan kuasa Allah, perempuan itu selamat dari kecelakaan maut yang di alaminya tadi. Dengan luka dikepala yang cukup serius dikepala semakin membaik. Dokter pun menanyakan kepada si perempuan itu. Nama, asal dan keluarga? Tetapi perempuan tersebut tidak bisa menjawab satu pertanyaanpun dari dokter, hanya kalimat Allah lah yang selalu ia ucapkan. Tapi identitas yang masih utuh tersimpan rapi ditasnya. Identitas tanda pengenalnya dan alamat orangtuanya yang di Palembang. Tanpa pikir panjang. Pihak rumah sakit langsung memberi kabar kepada saudaranya. Yang terdapat dalam alamat tersebut.
Hari berselang terus. Laila juga semakin pulih, didekat rumah sakit terdapat masjid yang cukup besar, laila sering menjalankan sholat dimasjid itu. Lama-kelamaan Laila akrab dengan warga disekitar masjid itu. Akhirnya laila diperbolehkan tunggal di tempat keluarga Pak Karto yang merawat juga Iman masjid tersebut.
Dilain tempat, suami Laila cemas menanti kabar istrinya yang sudah 4 hari belum memberi kabar. Tiba-tiba telepon berdering. Ternyata dari orangtua Laila. Hatinya agak sedikit tenang. Tapi ternyata kabar lain yang didapat. Laila belum juga sampai Palembang. Dan orangtuanya memberikan alamat yang diberikan kepada dokter kepadanya. Hati cemas mengguyur tubuh Rif’at. Sudah beberapa hari ini selalu menghubungi istrinya tetapi tidak nyambung. Begitu dibaca ulang alamat yang harus ia cari untuk menemukan istrinya adalah Rumah Sakit. Hati nyilu menyelimuti perjalanan Rif’at. Dengan keadaan yang tidak memungkinkan Rif’at ditemani tiga temannya yaitu Fadil, Dani dan Ramlan.
Detik demi detik, menit demi menit dan jam demi jam haripun berganti. Sesuai petunjuk alamat tersebut. Rumah Sakit tersebut tengah didepannya. Tak pikir panjang menanyakan keberadaan Laila. Dan ternyata dalam keadaan sehat wal’afiat dirumah Pak Karto. Atas penjelasan Pak Karto, ia memang Laila tapi dia tidak mengenal nama keluarganya dan tadinya juga tidak tau namanya. Laila perempuan yang sangat baik, disini dia selalu mengajari anak-anak mengaji, masyarakat sini pun senang dengan adanya neng Laila didaerah kami.
Rif’at meneteskan air matanya begitu mendengar Pak Karto bertutur, sungguh mengenaskannya, bisa bertemu dengan istrinya tidak bisa memeluk dan menciumnya. Dengan keadaan yang tidak memungkinkan membawa Laila kembali, Rif’at dan kawan-kawan juga tidak langsung pulang. Dengan izin ke Pak Karto bahwa Rif’at akan menikahi Laila lagi, walaupun Laila adalah istrinya. Pak Karto juga langsung memberi tahu Laila dbahwa dirinya dilamar oleh Rif’at pemuda yang tampan, baik dan kaya. Tetapi Laila tetap menolak.
Diwaktu pagi itu ketika Laila berjalan kepasar, tas yang dibawanya dicobet dan langsung dibawa lari oleh pencopet tersebut. Tak lama Rif’at datang menolongnya dan menghajar pencopet itu hingga babak belur.
Atas kejadian itu, Laila luluh hatinya dan mau dipersunting oleh Rif’at. Dan Laila mau dibawa ke Jogja, kerumah Rif’at bersama Rif’at seorang karena teman-temannya sudah pulang lebih dulu karena banyak keperluan . Dengan syarat yang diucapkan Laila kepada Rif’at, walaupun aku jadi istri kamu, kamu tidak akan bisa mendapatkan cintaku karena setiaku cintaku hanya untuk suamiku dan kamu hanya mendapatkan fisik aku saja setelah aku khatam 30 juz Alqur’an. Dengan syarat apapun yang diajukan Laila. Semua tak akan menjadi masalah. Juga Rif’at memerintahakan Laila tidak akan membuka kamar kerjanya setelah khatam Alqur’an.
Rif’at selalu rajin membuka Alqu’an yang dibaca istrinya, untuk memantau sudah sejauh mana memabacanya. Suatu ketika Rif’at mengajak istrinya pada suatu acara. Tanpa sengaja di acara itu Laila melihat copet yang dipasar tersebut adalah teman suaminya. Laila juga sangat marah ketika suaminya hanya mencari perhatiannya saja untuk mendapati kan dirinya. Dengan perlakuan itu hati Rif’at hancur berkeping-keping.
Aku ini suamimu... suami yang kau cintai dan kau setiai...tapi kata-kata itu hanya bergumam dihati Rif’at saja.
Laila pun minta perceraian. Betap pilu hati dan jiwa Rif’at mendengarnya. Dia hanya pasrah Allah akan memberikan jalan yang terbaik untuknya. Sehingga hari-hari Rif’at dilalui berdiam diri dimasjid mencari ketenangan. Dengan menangis, dengan sujud berulang Rif’at lakukan. Laila dirumah yang kesal dengan suaminya, berniat ingin pergi. Tetapi ia ingin menulis surat untuknya, dia mencari bolpoin dan kertas sampai keruang kerjanya Rif’at. Dengan emosi mencari-cari kunci dan perlahan membuka pintu ruang kerja Rif’at. Suatu pemandangan yang pertama ia lihat adalah gambar dirinya dan Rif’at foto pernikahannya dahulu, dan agenda-agenda indah yang tertumpuk dimeja kerja Rif’at. Yang berisi tulisan-tulisan indah miliknya, milik Laila yang tersimpan rapi dimeja Rif’at. Dengan haru Laila memeluk buku agenda-agenda itu sambil meneteskan air mata. Dan bersujud sukur kelantai.
Dosakah hamba ya Allah yang berdurhaka kepada suami hamba.. Ampukanlah dosa Hamba..
Yogyakarta, 27 Oktober 2010
Harga Wanita
Senja itu angin semilir semakin kencang. Situasi masjid lengang tidak seperti biasa. Hatiku kokoh untuk tetap berangkat berjamaah bersama santri-santri lain yang tetap berangkat untuk menunaikan sholat maghrib. Ya Alloh ya Tuhan.. Tuntunkanlah hamba disetiap jalan yang Engkau ridhoi. Usai sholat selalu ku panjatkan do’a sebelum zikirku kepada Rosululloh. Kenapa Kau anugrahkan rasa yang luar biasa kepada hamba ya Alloh, kenapa Kau beri rasa kepadaku untuk mencintai yang bukan milikku ya Alloh. Yang belum menjadi milikku dan haram bagiku. Tapi rasa itu begitu indah. Begitu menyejukan dan membuat damai isi hati ini, dikala ku melihatnya melihat senyumnya.
Mukena ku bereskan dan bergegas menuju kamar, terlintas terdengar alunan suara dia mengaji, hatiku bergetar hebat, nafas ini sesak dan tubuh ini seakan melayang hebat. Dengan selesainya wisuda bulan kemarin, rasa penasaranku pada lelaki itu semakin dalam. Ya Alloh .. Andai nanti jodohku. Betapa bahagianya hidupku nanti. Betapa sempurnanya hidupku dengannya. Subhanalloh . apa yang hamba fikirkan. Tapi ini hanya mimpi, dia lelaki sholeh, tak mungkin mau denganku.
Esok harinya, aku biasa berangkat bekerja dengan motor bututku, maklum hanya sebagai guru honorer yang tak cukup untuk bermewah. Hari ku lalui seperti hari biasanya. Tapi ini ada yang tak biasa, ban motorku bocor. Diperjalanan ku terus menuntunnya menelusuri jalan yang panas, tambal ban yang biasa buka sekarang tutup. Ada mobil Aerio Merah melintas cepat. Betapa kesalnya batinku melihat rianya orang yang memakai mobil. Tanpa sadar sambilku melamun. Mobil merah tadi berjalan pelan disampingku. Dan berhenti. Kemudian lelaki itu turun, membantuku membawakan motorku sampai kebengkel. Betapa lembut hatinya, selembut salju, ternyata dugaanku meleset. Ternyata kaulah lelaki pujaanku selama ini, hatimu selembut salju, kau mas Rif’at.
Setiap agendaku, selalu ku isi dengan kebaikan-kebaikan dan segalanya tentang Rif’at. Tak tahu asalnya bu Nyai memanggilku ke ndalem nya. Hatiku berdandan ala kadarnya. Ternyata diruang tamu bu Nyai sudah ba hanyak tamu. Tentu Pak Kyai, Bapak yang setengah baya dengan busana sopan dan ibu yang halus tutur katanya. Langsung kepokok, pak kyai langsung memulai pembicaraan, aku yang tidak tau ini acara apa dan untuk apa. Aku dikasih pertanyaan dari pak kyai.
Laila..umur kau sudah mencukupi, tak terbesitkah dalam benakmu untuk berumah tangga, dan Bapak mendapat tamu dari solo?
Mereka akan meminangmu, Laila.. kau sudah ku anggap seperti anak sendiri, dan saya tau yang apa yang kau butuhkan dari pertama kau masuk Tsanawiyah di Pesantren bapak ini. Masalah ini tidak perlu kau jawab sekarang, bisa kau pikirkan matang-matang dulu. Dan mintalah izin orangtua kamu di Palembang.
Kelopak-kelopak bunga mawar berjatuhan dihatiku, betapa indah dunia ini ku rasa. Ya Alloh ini bukan mimpi. Mas Rif’at melamarku. Subhanallah..
Setelah semuanya berkemas. Bergegas pula ku menelpon Ayah Ibu ku dikampung halaman nan jauh disana. Sepontan mereka setuju. Karena memang orang tuaku mengamanatkan diriku kepada Bu De Rumi yaitu Bu Nyai. Tak lama berselangpun aku mengatakan setuju kepada Bu Nyai. Mungkin mereka yang merencanakan ini itunya. Aku hanya diam. Sebelum ku tidur terdengar telepon berdering, dengan hati terpaksa, ku angkat. Alangkah indah suara yang ku dengar itu begitu familier ditelingaku, ternyata Rif’at yang berani pertama kalinya menyatakan seluruh isi hatinya lewat telepon dn merencanakan hari tanggal pernikahan, diam-diam mas Rif’at sudah mengagumiku sejak awal aliah. Karena buku aku yang jelas waktu itu agen da aku yang terbawa. Betapa malunya diriku kepadanya. Tapi tak apalah namanya juga remaja yang penuh perasaan berliku-liku dan ku tulis selalu diagenda. Sejak itu Rif’at begitu jatuh cinta kepada kata-kata yang terangkai di agenda itu. Katanya ku pantas menjadi penulis, karena kata-kataku pantas dipasarkan.
Dihari pernikahan kami. Hampir semua saudaraku dari Palembang datang termasuk Ayah dan Ibuku. Semua tamu undangan berbusana rapi. Acara akad nikahpun berlangsung dengan hikmat. Dan pertama kalinya. Diri ini duduk sangat dekat dengan mas Rif’at. Jantung hatiku terus bergetar mengiri lantunan lagu yang sedang berdendang.
Kebahagiaan yang tak terungkap statusku sudah menikah mempunyai suami dan aku menjadi seorang istri. Subhanallah.. syukurku selalu ku panjatkan pada-Mu ya Rab..
Satu tahun berselang. Rasa kangen kepada keluargaku dikampung halaman tak terbendungkan. Dengan halusku meminta izin kepada suamiku.
Mas Rif’at sayang.. aku kangen sekali ibu.. aku kangen sekali bapak.. setahun yang lalu pas pernikahan kita, mereka hanya sebentar disini, dan tak sempat bersendagurau bersama. Tolong izinkan aku mas.. menengok kampung halamanku..Cuma 2 pekan saja suamiku.. aku akan kembali..
Dengan hati memelas, mas Rif’at dengan tenang mengizinkan aku pulang ke Palembang. Kesibukan mas Rif’at yang padat dan tidak dapat ditinggalkan. Aku berangkat sendiri. Mas Rif’at hanya mengantarku sampai ke agen bus. Suamiku memelukku, mencium keningku dan ku cium tangannya. Dalam hati aku akan cepat kembali.
“Istriku.. hati-hati terus dijalan, jangan lupa selalu berzikir dan selalu ingat kepadaNya,.” Itulah nasihat Mas Rif’at kepadaku.
Bus melaju dengan cepat. Sepuluh jam berselang. Tak paham aku sudah sampai mana. Tiba-tiba dari arah depan ada truk oleng yang cepat menabrak bus yang aku tunggangi. Entah apa yang terjadi semua gelap.
Di suatu rumah sakit didaerah Bandung. Terbaring perempuan cantik dengan luka yang cukup serius. Tetapi dengan kuasa Allah, perempuan itu selamat dari kecelakaan maut yang di alaminya tadi. Dengan luka dikepala yang cukup serius dikepala semakin membaik. Dokter pun menanyakan kepada si perempuan itu. Nama, asal dan keluarga? Tetapi perempuan tersebut tidak bisa menjawab satu pertanyaanpun dari dokter, hanya kalimat Allah lah yang selalu ia ucapkan. Tapi identitas yang masih utuh tersimpan rapi ditasnya. Identitas tanda pengenalnya dan alamat orangtuanya yang di Palembang. Tanpa pikir panjang. Pihak rumah sakit langsung memberi kabar kepada saudaranya. Yang terdapat dalam alamat tersebut.
Hari berselang terus. Laila juga semakin pulih, didekat rumah sakit terdapat masjid yang cukup besar, laila sering menjalankan sholat dimasjid itu. Lama-kelamaan Laila akrab dengan warga disekitar masjid itu. Akhirnya laila diperbolehkan tunggal di tempat keluarga Pak Karto yang merawat juga Iman masjid tersebut.
Dilain tempat, suami Laila cemas menanti kabar istrinya yang sudah 4 hari belum memberi kabar. Tiba-tiba telepon berdering. Ternyata dari orangtua Laila. Hatinya agak sedikit tenang. Tapi ternyata kabar lain yang didapat. Laila belum juga sampai Palembang. Dan orangtuanya memberikan alamat yang diberikan kepada dokter kepadanya. Hati cemas mengguyur tubuh Rif’at. Sudah beberapa hari ini selalu menghubungi istrinya tetapi tidak nyambung. Begitu dibaca ulang alamat yang harus ia cari untuk menemukan istrinya adalah Rumah Sakit. Hati nyilu menyelimuti perjalanan Rif’at. Dengan keadaan yang tidak memungkinkan Rif’at ditemani tiga temannya yaitu Fadil, Dani dan Ramlan.
Detik demi detik, menit demi menit dan jam demi jam haripun berganti. Sesuai petunjuk alamat tersebut. Rumah Sakit tersebut tengah didepannya. Tak pikir panjang menanyakan keberadaan Laila. Dan ternyata dalam keadaan sehat wal’afiat dirumah Pak Karto. Atas penjelasan Pak Karto, ia memang Laila tapi dia tidak mengenal nama keluarganya dan tadinya juga tidak tau namanya. Laila perempuan yang sangat baik, disini dia selalu mengajari anak-anak mengaji, masyarakat sini pun senang dengan adanya neng Laila didaerah kami.
Rif’at meneteskan air matanya begitu mendengar Pak Karto bertutur, sungguh mengenaskannya, bisa bertemu dengan istrinya tidak bisa memeluk dan menciumnya. Dengan keadaan yang tidak memungkinkan membawa Laila kembali, Rif’at dan kawan-kawan juga tidak langsung pulang. Dengan izin ke Pak Karto bahwa Rif’at akan menikahi Laila lagi, walaupun Laila adalah istrinya. Pak Karto juga langsung memberi tahu Laila dbahwa dirinya dilamar oleh Rif’at pemuda yang tampan, baik dan kaya. Tetapi Laila tetap menolak.
Diwaktu pagi itu ketika Laila berjalan kepasar, tas yang dibawanya dicobet dan langsung dibawa lari oleh pencopet tersebut. Tak lama Rif’at datang menolongnya dan menghajar pencopet itu hingga babak belur.
Atas kejadian itu, Laila luluh hatinya dan mau dipersunting oleh Rif’at. Dan Laila mau dibawa ke Jogja, kerumah Rif’at bersama Rif’at seorang karena teman-temannya sudah pulang lebih dulu karena banyak keperluan . Dengan syarat yang diucapkan Laila kepada Rif’at, walaupun aku jadi istri kamu, kamu tidak akan bisa mendapatkan cintaku karena setiaku cintaku hanya untuk suamiku dan kamu hanya mendapatkan fisik aku saja setelah aku khatam 30 juz Alqur’an. Dengan syarat apapun yang diajukan Laila. Semua tak akan menjadi masalah. Juga Rif’at memerintahakan Laila tidak akan membuka kamar kerjanya setelah khatam Alqur’an.
Rif’at selalu rajin membuka Alqu’an yang dibaca istrinya, untuk memantau sudah sejauh mana memabacanya. Suatu ketika Rif’at mengajak istrinya pada suatu acara. Tanpa sengaja di acara itu Laila melihat copet yang dipasar tersebut adalah teman suaminya. Laila juga sangat marah ketika suaminya hanya mencari perhatiannya saja untuk mendapati kan dirinya. Dengan perlakuan itu hati Rif’at hancur berkeping-keping.
Aku ini suamimu... suami yang kau cintai dan kau setiai...tapi kata-kata itu hanya bergumam dihati Rif’at saja.
Laila pun minta perceraian. Betap pilu hati dan jiwa Rif’at mendengarnya. Dia hanya pasrah Allah akan memberikan jalan yang terbaik untuknya. Sehingga hari-hari Rif’at dilalui berdiam diri dimasjid mencari ketenangan. Dengan menangis, dengan sujud berulang Rif’at lakukan. Laila dirumah yang kesal dengan suaminya, berniat ingin pergi. Tetapi ia ingin menulis surat untuknya, dia mencari bolpoin dan kertas sampai keruang kerjanya Rif’at. Dengan emosi mencari-cari kunci dan perlahan membuka pintu ruang kerja Rif’at. Suatu pemandangan yang pertama ia lihat adalah gambar dirinya dan Rif’at foto pernikahannya dahulu, dan agenda-agenda indah yang tertumpuk dimeja kerja Rif’at. Yang berisi tulisan-tulisan indah miliknya, milik Laila yang tersimpan rapi dimeja Rif’at. Dengan haru Laila memeluk buku agenda-agenda itu sambil meneteskan air mata. Dan bersujud sukur kelantai.
Dosakah hamba ya Allah yang berdurhaka kepada suami hamba.. Ampukanlah dosa Hamba..
Yogyakarta, 27 Oktober 2010
cerita panjang gak ada? hahah *canda.
BalasHapusbagus kok cerita nya
besok yhaa, kl jd novel...
BalasHapus